Jumat, 20 Februari 2015
Kamis, 19 Februari 2015
MUKHTALIFUL
HADITS
“Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah”
“ULUMUL HADITS”
Dosen Pembimbing :
Drs. Nur As’adi M.Pd.I
Disusun Oleh : Kelompok (07)
1.
M. Hendra
2.
M. Mulki Sulaiman K
3.
Emil khoiri
4.
Laila Qadar
Pendidikan Agama Islam
Semester II (malam)
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
TAHUN 2013-2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya kepada penulis sehingga Makalah
yang berjudul “Mukhtaliful hadits” ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Adapun
tujuan penyusunan makalah ini tiada lain dengan tujuan agar Mahasiawa memahami
dan Mengerti maksud dari materi ini dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah
Studi Al Qur’an yang dibimbing oleh Bapak Drs. Nur As’adi M.Pd.I Dalam
penyelesaian makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu, penulis ucapkan terima kasih kepada:
-
Bapak
Drs. Nur As’adi M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Ulumul Hadits yang telah membibing kami dalam pembuatan
makalah ini.
-
Anggota
kelompok 7, yang telah bekerja sama dan berpartisipasi dalam menyelesaikan
tugas ini dengan baik.
-
Orang
Tua yang selalu memberikan do’a dan dukungan
-
Teman
teman sejawat yang membantu terselesaikannya tugas ini.
Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun secara
pengucapannya, hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman.
Akhirnya, tanpa
menutup mata terhadap kesalahan atau kekurangan pada makalah ini, kami dengan penuh kerendahan hati
senantiasa mengharap saran dan tegur sapa dari para pembaca yang budiman demi
perbaikan pada makalah ini. Demikian, mudah-mudahan amal kita semua diterima
disisi Allah . Amin …
Sidoarjo ,…,
………………, 2014
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I
1. Latar belakang ……………………………………………………..
2. Rumusan Masalah …………………………………………………
Bab II
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Berbicara tentang ilmu
hadits tentulah banyak sekali ilmu yang membahasnya, salah satunya adalah ilmu
yang jami bahas yaitu Mukhtaliful Hadits, Ilmu Mukhtaliful hadits adalah Ilmu
yang membahas hadits – Hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan itu, atau
mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas kaidah kaidah hadits yang
sukar dipahami atau diambil isinya untuk menghilangkan kesukaranya dan
menghilangkan hakikatnya.
Oleh karena itu kami
sedikit dan mencoba menerangkan ilmu ini guna untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh bapak Dosen, dengan tugas yang diberikan ini kami berusaha untuk
mengerti makalah yang telah kami buat ini.
II.
Rumusan Masalah
1.
Apa
itu Mukhtaliful hadits ?
2.
Sebab
sebab mukhtaliful hadits?
3.
Implikasi
dan cara cara penyelesaiannya
4.
Pentingnya
Ilmu Mukhtaliful Hadits
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Definisi Mukhtaliful-Hadits
Mukhtalif artinya adalah
yang bertentangan atau yang berselisih.Mukhtaliful-Hadits adalah
hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama
lain.
Sedangkan menurut istilah:
العلمالذييبحثفيالأحاديثالتيظاهرهامتعارضفيزيلتعارضها, أويوفقبينها, كمايبحثفىالأحاديثالتييشكلفهمهاأوتصورها, فيدفعأشكالها, ويوضححقيقتها.
“ Ilmu yang membahas hadits – Hadits yang menurut
lahirnya saling berlawanan itu, atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana
halnya membahas kaidah kaidah hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya
untuk menghilangkan kesukaranya dan menghilangkan hakikatnya”
Dari definisi
pengertian hadis mukhtalif sebelumnya, dapat disimpulkan juga bahwa kriteria
ilmu mukhtalif hadis adalah : hadis kontradiktif secara lahiriyah, hadis yang
kontradiktif tersebut terjadi pada hadis yang shahih dan hasan, dan ada metode
penyelesaiannya.
Sebagian menamai ilmu ini dengan ilmu Musyikul Hadits, ada juga
yang menamain dengan ilmu Ta’wilul Hadits dan sebagian yang lain menamainya
dengan ilmu Talfiqul hadits.
Sasaran ilmu ini
mengarah pada hadits- hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan
kandungannya dengan jalan membatasi (takyid) kemutlakannya maupun dengan
mengkhususkannya (takhsis) keumumannya dan lain sebagainya, atu hadits hadits
yang muskil, untuk dita’wilkan hingga hilang kemuskyilannya.
II.
Sebab–Sebab Hadist Mukhtalif
A.
Faktor Internal Hadist (Al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu
berkaitan dengan internal dari redaksi hadist tersebut. Biasanya terdapat
‘illat (cacat) didalam hadist tersebut yang nantinya kedudukan hadist tersebut
menjadi Dha’if. Dan secara otomatis hadist tersebut ditolak ketika hadist
tersebut berlawanan dengan hadist shohih.
B.
Faktor Eksternal (al’ Amil
al Kharijy)
Yaitu
faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi
ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan
hadistnya.
C.
Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni
berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadist
tersebut. Ada sebagian dari hadist yang dipahami secara tekstualis dan belum
secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki
oleh seorang yang memahami hadist, sehingga memunculkn hadist-hadist yang
mukhtalif.
D.
Faktor Ideologi
Yakni
berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu hadist, sehingga
memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.
III.
Pentingnya Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu Mukhtaliful hadits termasuk
salah satu ilmu dari ilmu ilmu hadits yang sangat diperlukan oleh muhadditsin,
Fuqaha’ dan lainya, baggi seseorang yang hendak memetik hukum dari dalil
dalilnya hendaknya mempunyai pemgetahuan yang mendalam. Pemahamn yang kuat,
memhetahui keumuman dan kekhususannya, mengenal akan kemutlakan dan
kemuqayyatanya, dalil dalil tersebut. Ia tidak cukup menghafal hadits – hadits,
sanad sanadnya, lafald lafaldnya tanpa mengetahui ketentuan ketentuannya tanpa
memahaminya dengan sebenar benarnya.
IV.
Implikasi dan cara cara penyelesaiannya
Setiap
perbedaan pastilah membawa hikmah. Begitupun dalam hal hadis Nabi Muhammad saw,
dengan adanya anggapan bahwa hadis-hadis Nabi saling bertentangan sehingga
dikatakan perkataan Nabi tersebut tidak konsisten, maka para ulama hadis
termotivasi untuk merumuskan teori-teori yang dapat menyelesaikan anggapan
keliru tersebut. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam metode atau teori
tersebut antara lain.
1. Metode
Penyelesaian Kontradiksi Hadits
1.1.Metode Ulama’ Safi’iyyah
Ulama’ Safi’I Membuat dan menyusun urutan metode Penyelesaian Hadits Mukhtalaf sebagai berikut :
A.
Kompromi ( Al-Jam’u ) antara dua teks yang berbeda.
Metode
ini yaitu dilakukan dengan cara menggabungkan dan mengkompromikan dua hadis
yang tampak saling bertentangan, dan kedua hadis tersebut harus sama-sama
shahih. Para ulama berpendapat metode ini lebih baik daripada dengan
menggunakan metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis yang tampak
bertentangan). Dalam salah satu kaedah fiqh dikatakan bahwa “i’mal al-qaul
khairun min ihmalihi (mengamalkan suatu ucapan atau sabda itu lebih baik
daripada membiarkannya untuk tidak diamalkan).”
Contoh hadis
yang penyelesaiannya dengan metode ini adalah hadis tentang cara wudlu
Rasulullah saw. Berikut contoh hadis yang pertama :
حدثنا
الربيع, قال : أخبرنا الشافعي, قال : أخبرنا عبد العزيز بن محمد, عن زيد بن أسلم,
عن عطاء بن يسار, عن ابن عباس, أن رسول الله ص.م وضأ وجهه ويديه, ومسح برأسه مرة
مرة.
Artinya:
Rabi’ telah
bercerita kepada kami, dia berkata: Imam al-Syafi’i memberi kabar kepada kami,
dia berkata: Abdul Aziz Ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami, dari Zaid
Ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw berwudlu
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali. (HR.al-Syafi’i).
Sedangkan dalam
riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw berwudlu dengan membasuh wajah
dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali. Seperti hadis berikut :
اخبرنا
الشافعي, قال : أخبرنا سفيان بن عيينة, عن هشام بن عروة, عن ابيه, عن حمران مولى
عثمان بن عفان, ان النبي ص.م توضأ ثللاثا ثلاثا.
Kedua hadis
tadi secara lahiriyah memang seperti bertentangan, akan tetapi pada hakekatnya
tidak. Menurut pendapat Imam Syafi’i, berwudlu dengan membasuh muka, kaki, dan
mengusap kepala sudah mencukupi dengan satu kali saja, akan tetapi dengan
mengulang sebanyak tiga kali lebih sempurna. Jadi, kedua hadis tersebut dapat
diamalkan sesuai dengan konteks. Jika keadaan kita (terutama jumlah air) memang
memungkinkan kita untuk mengulangi basuhan anggota wudlu sebanyak tiga kali,
maka lebih utama mengulang basuhan sebanyak tiga kali. Kalaupun keadaan sudah
terpenuhi, tetapi kita memilih mengulang satu kali, itu sudah mencukupi.
B.
Jika
Cara Kompromi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan cara mencari Informasi tentang munculnya Teks
Hadits. Dengan menggunakan cara nasikh mansukh baik keduanya bersifat Qathi
atau Ndani, Bersifat Am’ Atau Khusus.
C.
Jika
Cara sejarah tidak dapat dilakukan, maka mengunakan cara Tarjih ( Menguatkan
salah satunya ) Jika memang tidak memungkinkan menggunakan keduanya.
D.
Jika
Cara diatas tidak dapat digunakan maka menggunakan cara Takhyir ( memilih )
antara keduanya.
1.2. Metode Ulama’ Hanafiah
Ulama’
Hanafiah membuat urutan langkah – langkah penyelesaian konradiksi hadits
sebagai berikut :
A.
Metode
Nasikh Mansukh
B.
Tarjih
Jika memang memungkinkan
C.
Kompromi
menurut kelakuan yang bisa dilakukan
D.
Saling
menggugurkan jika berhalangan untuk bias mengkompromikan.
E.
Dalam
persoalan ini kembali kepada dalil yang peringkatnya lebih rendah jika
didapatkan.
F.
Dalam
hal ini kembali kepada Hukum asal, jika tidak ada dalail yang peringkatnya
lebih rendah.
1.3. Metode zibn Hajar al-Asqalani
Ibn Hajar menetapkan urusan penyelesaiannya :
A.
Kompromi
B.
Nasikh
Mansukh
C.
Tarjih
D.
Tawaqquf
2.
Metode Kompromi
Menurut Iwadl al-Sayyid mendefinisikan
metode kompromi adalah Mempertemukan antara dua hadits yang kontradiksi dengan
bersandar kepada dalam dalil yang dapat menolak kontradiksi dalam rangka
mengamalkan keduanya.
2.2. Syarat – Syarat Kompromi
1.
Kedua
Hadits Harus Shahih
2.
Kontradiksi
itu dalam bentuk bertolak belakang.
3.
Kompromi
tidak menyebabkan batalnya salah satu Hadits yang kontradiksi.
4.
Harus
sesuai dengan Uslub bahasa Arab, dan tujuan Syari’at tanpa ada unsur pemaksaan.
2.3. Kaidah kaidah Kompromi
hadits
1.
Hadits
dari nabi dan Berbentuk Umum
2.
Membawa
perbedaan hadits itu kepada kebolehan dilakukan perkara itu.
3.
Mengkompromikan
antara yang mujmal, mufassar, ‘am, dan Khas.
Contoh
·
Shalat
menunggu udara dingin
Al-HAitsami dalam mujma’
al-zawaid meriwayatkan dari khabbab ibn al-arats, katanya:
ثكوناالى رسول الله صلم شدة الرمضاء فلم يشكنا
“Bahwasannya Khabbab ibn al-arts mengadu
kepada Rasulullah karena sangat panasnya matahari, tetapi beliau tidak menerima
pengaduanya.
Maksudnya bahwa mereka
mengadu kepada Nabi tentang cuaca yang sangat panas dan tanpak kegerahan yang
mereka alami, dan meminta kepada nabi untuk menunggu udara dingin dalam
melaksanakan shalat, tetapi beliau tidak memperkenankan mereka mengakhirkan
shalat.
Imam ahmad meriwayatkan
dalamAl-Musnad 2/229,311,391,394,485 ; 3/53; Al-Baihaqi dalam al-Sunnah
al-Kubra, Abu Nu’aim dalam al- Hilayah, Ibn Hajar dalam al-Muthallib
al-‘Aliyah, bahwasannya rasulullah bersabda :
فأبردواباالصلا ة فإن ثدة الح من فيح جهنم
“ Tunggulah udara cdingin untuk shalat,
sesungguhnya udara yang sangat panas itu dari hembusan jahannam.
Dari kedua hadits itu
terkesan ada perbedaan dan kontradiksi, tetapi ibn Qutaibah berkata bahwa pada
kedua hadits tidak terdapat kontradiksi, karena awal waktu shalat adalah
Perolehan keridlaan allah sementara akhir waktu shalat adalah pemaafan tuhan.
3.
Metode Tarjih
Tarjih dari segi bahasa adalah
Memiringkan atau memenangkan, sedangkan dari segi istilah adalah Menyertakan
dalil yang dengan adanya dalil itu suatu dalil yang mendapat dukungan dalil
lain ) menjadi lebih kuat atas dalil yang berlaawanan dalam memberikan faedah
dhan ( ilmu yang mantap ).
·
Macam
– macam tarjih
1.
Tarjih
berdasarkan sanadnya
Hadits yang memiliki sifat dibawah
ini dianggap lebih kuat dari pada yang tidak.
a.
Banyak
perowi dan jalur periwayatannya
b.
Sanad
Aliy
c.
Sanad
terdiri dari ulama’ hijaz
d.
Pengenalan
terhadap Rijal Sanad hadits
e.
Sanad
menunjukkan kebersambungan transmisi hadits
f.
Kemarfu’an
Sanad
g.
Kebersambungan
sanad
2.
Tarjih
berdasarkan cara-cara tahammul ( Penerimaan dan penerimaan hadits )
Para Ulama’ hadits menjadikan cra
ini agar bias dikenali hal-Ikhwal para perawi dan menyampaikan kembali
haditsny, dan adanya perbedaan tingkatan derajat tahammul hadits.
·
Cara
periwayatan hadits
a.
Penerimaan
setelah baligh
b.
Mendengar
hadits langsung dari guru
3.
Tarjih
berdasarkan Hal Ihwal Perawi dan sifat sifatnya
a.
Kedalaman
pengetahuan perawi
b.
Pengetahuan
periwayat tentang Bahasa arab dan kaidahnya
c.
Salah
satu periwayat lebih banyak hadir dalam majlis majlis rasulullah dibandingkan
lainya.
d.
Salah
satu periwayat lebih banyak kebersamaan dan persahabatan dengan gurunya
e.
Keadilan
rawin ditetapkan berdasarkan pengenalan langsung dan VerifikasiPeriwayat yang
disepakatin keadilannya didahulukan atas periwayat yang diperselisihkan
keadilannya.
f.
Periwayat
yang din ilia adil oleh banyak kritikus
g.
Periwayat
yang “ahfadh”
h.
Tidak
mengalami kekacauan hafalan
i.
Periwayat
yang lulus aqidahnya
j.
Periwayat
yang selalu merowayatkan berdasarkan lafal
k.
Salah
satu hadits disepakati kebersambungan sanadnya.
4.
Tarjih
berdasarkan matan hadits
a.
DAlam
redaksi hadits itu tidak terdapat iththirab ( kekacauan redaksi )
b.
Salah
satu matan redaksi susunan bahasanya lebih baik dan lebih banyak mencakup
persoalan.
c.
Salah
satu matan / redaksi hadits berbentuk redaksi hadits
d.
Didahulukan
riwayat yang bersifat umum dari pada yang ditakhsis
e.
Disertai
penafsiran tentang adanya tambahan pengetahuan tentang hadits itu
f.
Salah
satu hadits menyatakan secara tegas tentang dalalahnya
g.
Salah
satu hati dating dan menunjuk kepada matan hakiki
h.
Salah
satu hadits dating secara mutlak
i.
Matan
hadits diriwayatkan secara lafdhi
5.
Tarjih
berdasarkan Faktor Eksternal
a.
Persesuaian
hadits dengan makna lahiriah alqur’an
b.
Terdapat
hadits lain sesuai dengan salah satu hadits yang kontradiksi
c.
Persesuaian
hadits dengan qiyas
d.
Persesuaian
hadits dengan penduduk madinah
Contoh
1. Perawi salah satu dari dua hadits yang
bertentangan jumlahnya lebih banyak dalam tingkatan-tingkatannya dibandingkan
hadits yang lain. Maka, hadits yang dibawakan perawi yang lebih banyak lebih
kuat dibandingkan hadits yang dibawakan perawi yang lebih sedikit jumlahnya.
Contoh :
حدثناحفصبنعمرثناشعبةعنأبيإسحاقعنعاصمبنضمرةعنعليعليهالسلامأنالنبيصلىاللهعليهوسلمكانيصليقبلالعصرركعتين
”Telah
menceritakan kepada kami Hafsh bin ’Umar : Telah menceritakan kepada kami
Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi Thalib
radliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam shalat
(sunnah) sebelum ’asar sebanyak dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no.
1272].
Syu’bah dalam
sanad hadits ini telah menyelisihi beberapa perawi lain yang meriwayatkan dari
Abu Ishaq (As-Sabi’y), dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu
tentang shalat sunnah sebelum ‘Asar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; dimana
mereka semua menyebutkan empat raka’at [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 650, Ibnu
Majah no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429; shahih]. Para perawi tersebut antara
lain : Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq),
dan Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq).
Jika kita
mengambil metode tarjih dalam pembahasan ini, kedudukan shalat sunnah sebelum
‘Asar empat raka’at lebih kuat dibandingkan dua raka’at.
2. Perawi salah satu dari dua hadits lebih
tsiqah, lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit
salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat
dibandingkan riwayat yang kedua.
Contoh :
Hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/529), At-Tirmidzi (no. 1165), An-Nasa’i
dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 115), Ibnul-Jaarud (3/52 – Al-Ghauts), Ibnu Hibbaan
(Al-Ihsaan : 6/202) dari jalan Abu Khaalid Al-Ahmar (Sulaiman bin Hayyaan
Al-Azdiy), dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaiman, dari
Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’ :
لاينظراللهإلىرجلأتىرجلًاأوامرأةًفيدبرها
“Allah tidak
akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi (menggauli) laki-laki atau
wanita (istrinya) dari duburnya”.
Abu Khaalid
Al-Ahmar telah diselisihi oleh Wakii’ bin Al-Jarraah dalam hadits di atas.
Waki’ bin Al-Jarraah telah meriwayatkan dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsman, dari
Makhramah, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf [Diriwayatkan oleh
An-Nasa’iy dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 116)]. Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata
dalam At-Talkhiishul-Habiir (3/206) : “Riwayat ini lebih shahih di sisi mereka
daripada riwayat yang marfu’”.
Apa yang
dikatakan oleh Al-Haafidh adalah benar, karena Waki’ lebih hifdh dan tsabt
daripada Abu Khaalid Al-Ahmar. Hal itu dikarenakan Abu Khaalid adalah perawi
yang berstatus shaduq, kadang salah dan berselisihan riwayatnya; sedangkan
Waki’ adalah perawi yang berstatus tsiqatun haafidh.
Tarjih yang
dilakukan atas dua riwayat di atas menyimpulkan bahwa riwayat Waki’ yang mauquf
dimenangkan atas riwayat Abu Khaalid yang marfu’. Atau dengan kata lain,
riwayat di atas bukanlah merupakan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, melainkan hanya perkataan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma saja.
3. Perawi salah satu dari dua hadits
merupakan pihak yang mempunyai kisah (shahibul-qishshah). Maka, riwayat perawi
ini lebih kuat daripada yang lainnya.
Contoh :
عنميمونةقالت : تزوجنيرسولاللّهصلىاللّهعليهوسلمونحنحلالان
Dari Maimunah,
ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami
berdua dalam keadaan halal (setelah selesai ihram)” [HR. Abu Dawud no. 1843;
shahih].
Riwayat di atas
bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
أَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَتَزَوَّجَمَيْمُوْنَةَوَهُوَمُحْرِمٌ
”Bahwasannya
Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram” [HR.
Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410].
Jika kita
melakukan tarjih atas dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunah radliyallaahu
‘anhaa dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Hal ini
dikarenakan ia berstatus sebagai si empunya kisah yang menceritakan
pengalamannya.
Ibnul-Musayyib
rahimahullah berkata :
وهمبنعباسفيتزويجميمونةوهومحرم
“Ibnu ’Abbas
telah keliru dalam (meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan
ihram” [HR. Abu Dawud no. 1845; shahih].
4. Perawi salah satu dari dua hadits
merupakan pihak yang mengetahui secara langsung apa yang diriwayatkannya,
sedangkan perawi yang lain tidak. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan
riwayat yang kedua.
Contoh :
عنأبيرافعقال : تزوجرسولاللهصلىاللهعليهوسلمميمونةوهوحلالوبنىبهاوهوحلالوكنتأناالرسولبينهما
Dari Abu
Raafi’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi
Maimunah dalam keadaan halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga
dengannya dalam keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara
keduanya” [HR. At-Tirmidzi no. 841].
Jika hadits ini
shahih [1], maka riwayat Abu Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas
(sebagaimana contoh dalam no. 3 di atas), karena Abu Raafi’ merupakan perantara (safiir) antara
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Maimunah, dan yang menerima
pernikahan Maimunah dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
5. Perawi salah satu dari dua hadits
termasuk istri-istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia
didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan
dengan kehidupan/hubungan suami istri.
Contoh :
عنعائشةوأمسلمة - رضياللهعنهما- : أنرسولاللهصلىاللهعليهوسلمكانيدركهالفجروهوجنبمنأهلهثميغتسلويصوم
Dari Aisyah dan
Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam
keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa” [HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no.
1109].
أنأباهريرةيقولمنأصبحجنباأفطرذلكاليوم
Bahwasannya Abu
Hurairah pernah berkata : “Barangsiapa yang pada waktu shubuh dalam keadaan
junub, maka ia telah berbuka pada hari itu” [HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no.
3486, dan yang lainnya; shahih].
Hadits pertama
lebih dimenangkan atas hadits kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih
mengetahui perihal junub Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dibanding dengan
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
4.
Metode Nasikh-Mansukh
a. Nasikh
Secara etimologi nasikh di ambil
dari kata naskh yang memiliki dua arti, pertama; menghilangkan. Kedua;
memindahkan. Berarti nasikh adalah yang menghilangkan atau yang memindahkan.
Namun arti menghilangkan atau menghapus lebih bisa digunakan dalam kaitannya
dengan arti terminology.
Adapun secara terminologi nasikh memiliki
banyak tafsiran, di antara ulama ada yang mendefinisikan ia adalah penjelasan
berakhirnya masa berlaku sebuah ibadah. Menurut ulama yang lain ia adalah
proses menghilangkan sebuah hukum setelah ditetapkan. Namun banyak dari ulama
kontenporer yang ketika mendefenisikannya menitik beratkan pada definisi yang
diutarakan oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan:
أَنَّهُالْخِطَابُالدَّالُّعَلَىارْتِفَاعِالْحُكْمِالثَّابِتِبِالْخِطَابِالْمُتَقَدِّمِعَلَىوَجْهٍلَوْلَاهُلَكَانَثَابِتًابِهِمَعَتَرَاخِيهِعَنْهُ.
“ ia adalah hukum yang menunjukan
terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum yang baru berdasarkan sebab yang
jika bukan karenanya maka pasti hukum(pertama) itu tetap, juga karena
keberadaan (hukum baru itu) terakhir”[1].
Mungkin untuk definisi nasikh yang
lebih luas dan mudah dipahami adalah definisi versi imam Qaadhi, saya yakin
definisi ini lebih tepat untuk diambil dalam pembahasan ini.
b. Mansukh
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa nasikh adalah hukum penghapus atau hukum yang
menggantikan hukum terdahulu.Berarti istilah mansukh itu sendiri adalah hukum
yang dihapus karena adanya hukum baru.
Jadi menginai konsep nasikh mansuk
ringkasnya kami katakan sebagai penghapus dan dihapus; yaitu hukum baru
menghapus hokum yang lama, seperti yang dikatakan dan dianut oleh imam Suyuthi
serta dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadhi di atas.
Adapun imam Suyuti sebagaimana yang beliau pilihkan dalam bukunya Tadriib
al-Raawi beliau katakan:
“ penghapusan Allah terhadap suatu
hukum lama dengan hukum yang baru” [2].
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat disarikan bahwa ilmu nasikh mansukh adalah: cabang ilmu hadits yang
membahas hadits-hadits yang tampak saling bertabrakan maknanya, yang tidak
mungkin dapat diharmoniskan antara satu dengan yang lainnya. Maka otomatis
peneliti harus menentukan salah satu hadits sebagai nasikh(penghapus) dan
hadits yang lain sebagai mansukh(yang dihapus), tentunya yang pertama adalah
hadits mansukh, sedangkan yang datang belakangan sebagai nasikh.
Jadi sederhananya, nasikh adalah
yang menghapus hukum lama karena adanya hukum baru, kemudian oleh Allah hukum
baru tersebut ditetapkan hingga hari kiamat alias bersifat abadi dan bukan
temporal.
c. Apakah nasikh mansukh teks atau
interpretasi?
Sejauh pembelajaran kami tentang
ilmu hadits, nasikh mansukh adalah interpretasi bukan teks. Karena terkadang ditemukan dua hadits yang
lafaz atau teksnya berbeda namun tidak terindikasi sebagai nasikh mansukh namun
hanya dianggap dialektika atau fariasi semata. Sebagai contohnya hadits-hadits
tentang dzikir dan doa iftitah dalam shalat. Atau hadits-hadits yang berkaitan
dengan jumlah basuhan ke anggota-anggota wudhu ketika berwudhu, yang terkadang Nabi
melakukannya satu kali basuh, terkadang dua kali dan terkadang tiga kali basuh.
dan hadits-hadits yang semisalnya sangatlah banyak.
Oleh karena itu, jika terdapat dua
hadits atau lebih yang interpretasinya berbeda dan saling tabrakan walaupun
terkadang susunan kalimatnya sama namun tidak bisa dikompromikan maka ia adalah
hadits nasikh mansukh, dan model hadits-hadits semacam ini sangat sedikit jika
dibandingkan dengan yang pertama.
d. Kapan nasikh mansukh dipakai sebagai
solusi hadits mukhtalif?
Ketika terdapat dua hadits atau
lebih yang bertabrakan interpretasinya maka hadits tersebut dapat disebut
sebagai hadits mukhtalif, sementarahadits mukhtalif tersebut menurut para ulama terbagi menjadi
dua bagian inti;
Pertama: hadits mukhtalif yang masih
bisa diharmoniskan, tanpa menempuh jalur naskh. Dan kedua-duanya harus
diamalkan.
Kedua: hadits mukhtalif yang tidak
bisa diharmoniskan. Maka solusi dari hadits-hadits yang bertentangan tersebut
diberlakukan jalur nasikh mansukh. Karena salah satu dari keduanya pasti ada
yang benar dan lainya salah. Maka dengan solusi naskh salah satu hadits dapat
diamalkan dan yang lainnya harus diabaikan.
2. Obyek pembahasan
Objek kajian dalam nasikh wa mansukh
adalah matan hadits, Spesifiknya adalah pada hadits-hadits yang kami anggap
tergolong dalam nasikh dan mansukh, kami akan mengangkat empat hadits untuk
mengklarifikasikan sebagai hadits-hadits nasikh mansukh.
3.
Urgensi Pembahasan
Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu
yang sangat prinsip bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah,
karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui
dalil-dalil nasikh dan mansukh. sebab dengan mempelajarinya menghilangkan semua
kerancuan memahami teks sebuah hadits dan dapat mengetahui sejauh mana masa
berlaku sebuah hadits dalam pengamalannya di dunia Islam. Tentang penting dan
sulitnya ilmu ini maka Imam az-Zuhri penah berkata:
أَعْيَاالْفُقَهَاءَوَأَعْجَزَهُمْأَنْيَعْرِفُوانَاسِخَحَدِيثِرَسُولِاللَّهِ
– صَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ – وَمَنْسُوخَهُ
“ parafuqaha telah mengalami
kesulitan dan letih untuk mengetahui hadits yang menasikh dan hadits
mansukh”[3].
Beranjak dari perkataan imam
az-Zuhri ini, ternyata hadits nasikh dan hadits mansukh ini memang sedikit
membebani para penuntut ilmu[4], bahkan para ulama fikih pun mengalami
kesulitan untuk mengidentifikasinya.Jika imam yang mulia seperti beliau saja
berkomentar seperti itu apalagi kita, tentu saja kita harus lebih banyak dan
terus memperdalam ilmu semacam ini untuk mengetahui keabsahan serta sejauh mana
masa berlaku sebuah hadits Nabi.
Itulah perjuangan salah satu ulama
terdahulu-mewakili yang lain- untuk menyampaikan sunnah Nabi kepada umat ini
dengan kemampuan yang mereka miliki. Kemampuan besar yang mereka miliki itu pun
masih belum bisa tersampaikan kepada kita, mungkin karena ketajaman pemahaman
yang kita miliki masih terbatas. Sebenarnya penjelasan ulama terdahulu yang
singkat dan padat itu justru memacu kita untuk bisa berinovasi sendiri dalam memahami
dan menerapkan hadits, karena mereka telah membuka jalan kepada kita untuk
memahami dan menerapkan hadits, seperti yang telah di lakukan oleh imam
syafi’i.
Kalau diteliti, ilmu ini sebenarnya
adalah pelengkap pintu ber-ijtihad, karena tiang besar dari ijtihad itu sendiri
adalah menguasai nukilan hadits, di antara manfaat dari nukilan adalah mengenal
nasikh dan mansukh.Maka apabila seseorang telah mempelajari ilmu ini ia akan
dengan mudah meyimpulkan suatu hukum dari sebuah teks hadits tanpa melihat
penjelasan para ulama sebelumnya.
Oleh karena itu, sangatlah penting
bagi seorang muslim khususnya peneliti untuk memahami ilmu ini di dalam dunia
Islam.
b. Analisa Metode
Sebagian ahli hadits menggunakan
naskh apabila mereka kesulitan dalam menggabungkan dua hadits yang bertabrakan
dan tidak dapat diharmoniskan, serta di antara keduannya diketehui mana hadits
yang muncul belakangan.
1. Lantas apa saja metode yang dipakai untuk
mengetahui hadits nasikh mansukh?
Selain mengetahui antara
kedua hadits mana yang muncul pertama dan mana yang muncul terakhir sebagai
metode mengetahui nasikh mansukh terdapat metode lain untuk mengetahui hadits
nasikh mansukh seperti:
1. Menelusuri Pernyataan terang dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang kalian
untuk berziarah kubur.Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat
mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
2.
Mengetahui Perkataan dan penjelasan Sahabat.
Sebagai contohnya biasanya mereka
mengatakan: “bahwa akhir dari dua perkara yang dilakukan oleh Nabi adalah tidak
berwudhu(lagi)dari memakan daging (bakar) yang tersentuh api”(HR. Abu Daud dan
Nasai)
Pada metode ini Para ulama Ushul
melazimkan sebuah syarat, yaitu adanya keterangan dari mereka(sahabat) akan
adanya hadits lain yang datang terakhir untuk menghapus hadits pertama. Berbeda
dengan ulama ahli hadits, mereka mengabaikan syarat ini karena menurut mereka
tidak ada peluang berijtihad atau berlogika. Sebab ilmu naskh ini hanya dapat
dicapai dengan mengetahui fakta sejarah, dan tentu para sahabat lebih hebat
dalam sejarah Nabi karena mereka yang langsung melihatnya. Serta mereka lebih
berhati-hati menjust hokum sebagai naskh tanpa harus mengetahui akhir sebuah
hadits untuk menjadi nasikh[5].
3. Mengetahui sejarah, seperti hadits
Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan yang
dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa”
(HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad
dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi
Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; seperti hadits yang
berbunyi :
Barangsiapa yang meminum khamr maka
cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka
bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama
menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh
dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan adanya nasikh[6].
Sebenarnya, problematika naskh
dalam hadits tidak serumit dalam al-Qur’an. Namun, sebenarnya tidak juga
demikian. Malah sebaliknya, karena pada prinsipnya, al-Qur’an bersifat umum dan
universal. Adapun sunnah banyak menangani persoalan-persoalan “partikular dan
temporer”, yang dalam hal ini Nabi berposisi sebagai pemimpin umat yang
mengatur urusan kehidupan sehari-hari.
Namun, banyak hadits yang
diamsumsikan sebagai mansukh, tetapi setelah diteliti ternyata tidak demikian.
Hadits-hadits tersebut ada yang mengandung ketetapan(‘azimah). Ada pula yang
dimaksudkan sebagai keringanan(rukhshah). Keduanya mempunyai hukum tersendiri
sesuai dengan kedudukan masing-masing. hadits terkait oleh kondisi tertentu.
Oleh karena itu, perbedaan situasi
tidak berarti adanya naskh. Sebagai contoh, hadits tentang larangan menyimpan
daging qurban lebih dari tiga hari yang kemudian dibolehkan. Atau hadits
tentang perintah berbuka puasa ketika berperang melawan musuh, dan jika kita
berpuasa setelah berperang pun tidak dikatakan sebagai nasikh terhadap hadits perintah
berbuka. kedua hadits ini tidak termasuk kategori naskh tetapi hanya menyangkut
larangan dalam situasi tertentu dan kebolehkan dalam situasi yang lain atau
sebaliknya.
2. Lantas Bagaimana Proses Memahami Nasikh
Mansukh?
Tentang hal ini Imam Syafi’I telah
mengisyaratkannya, beliau menyatakan:” apabila ada dua hadits yang keduanya
berkemungkinan diamalkan secara bersamaan, keduannya harus diamalkan, dan salah
satunya tidak dapat membatalkan yang lainnya. Namun, jika keduanya
bertentangan, maka ada dua opsi untuk penyelesainnya.
Pertama: apabila diketehui salah
satunya nasikh(menghapus) dan yang lainnya mansukh(dihapus), hadits yang nasikh
yang diamalkan dan yang mansukh ditinggalkan[7].
Kedua: apabila tidak diketahui mana
yang nasikh dan mana yang mansukh, kita tidak boleh mengamalkan salah satunya
dan meninggalkan yang lainnya, kecuali dengan alasan bahwa hadits yang
diamalkan itu lebih kuat(sanadnya) atau lebih dekat dengan maksud al-Qur’an dan
hadits Nabi atau lebih layak untuk dilakukan analogi(qiyas) padanya, dan
menjadi pegangan mayoritas ulama atau para sahabat Nabi”[8].
Itulah metode para ulama dalam
menganalisa hadits-hadits Nabi yang terlihat bertentangan satu dengan yang
lainnya. Sebelum melanjutkan studi ini, kita perlu mengetahui metode apa yang
akan kami gunakan dalam membahas ilmu nasikh dan mansukh. Dalam pembahasan ini
saya akan berusaha memilih dan mengidentifikasi hadits sebagai hadits nasikh
mansukh disertai penjelasannya dari empat contoh hadits yang kami anggap
sebagai nasikh dan mansukh. Jadi menurut kami metode pendekatannya adalah
metode penelitian deduktif dengan metode yang dipakai oleh para ulama di atas .
Perlu saya tekankan bahwa hadits
nasikh dan mansukh itu sendiri terkadang termuat dalam sanad dan teks yang
berbeda alias terpisah antara hadits nasikh dengan mansukhnya dan terkadang
hadits nasikh dan mansukh ini termuat kompleks dalam satu sanad dan teks yang
sama.
e. Analisa aplikasi empat hadits
Hadits-hadits yang akan kami angkat
sebagai hadits nasikhmansukh yang juga dianggap oleh para ulama sebagai nasikh
danmansukhpada kesempatan kali ini adalah sebagai berikut:
1. Hukum Ziarah Kubur
عنابنعباسقاللعنرسـولاللهزواراتالقـبوروالمـتخذينعلـيهاالمساجدوالسرج
” dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata:
Rasulullah- shallalhu ‘Alaihi Wa Sallam-bersabda Allah telah mengutuk para
peziarah kubur dan orang-orang yang membangun masjid-masjid di atasnya serta
menaruh lampu padanya”(HR.Tirmidzi).
Sebagian para ulama
ketika mengomentari hadits ini mereka mengatakan hadits ini telah mansukh
dengan hadits yang lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Ibnu Syahin
dalam bukunya“nasikh al-hadits wa mansukhuhu” ketika menyebutkan hadits ini.
hadits yang me-Nasikh-nya adalah hadits berikut:
عنابنبريدةعنابيهقالقالرسولالله: كنتنهيتكمعنزيارةالقبورفزوروها،فإنفيزيارتهاتذكرة
” dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya
beliau berkata, Rasulullah bersabda:” dahulu aku pernah melarang kalian
berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena menziarahinya
mengingatkan(pada kematian)”(HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).
Imam Ibnu Syahin berkata:” hadits
yang pertama derajatnya shahih dan hadits yang kedua ini juga shahih, hanya
saja hadits yang kedua sebagai nasikh hadits pertama”[9].
2. Hadits hukum nikah mut’ah
قَالَابْنَمَسْعُودٍ: كُنَّانَغْزُومَعَرَسُولِاللَّهِ
– صَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ – وَلَيْسَمَعَنَانِسَاءٌ،فَأَرَدْنَاأَنْنَخْتَصِيَ،فَنَهَانَاعَنْذَلِكَرَسُولُاللَّهِ
– صَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ – ثُمَّرَخَّصَلَنَاأَنْنَنْكِحَالْمَرْأَةَإِلَىأَجَلٍبِالشَّيْءِ
“ Ibnu Mas’ud berkata: dahulu kami
bersama Rasulullah-shallalhu ‘Alaihi Wa Sallam- dalam peperangan sementara
tidak ada istri-istri yang bersama kami, maka kami ingin berkebiri, namun Nabi
melarang kami dari perbuatan itu, kemudian beliau memberikan dispensasi kepada
kami untuk menikahi wanita sampai beberapa waktu dengan memberi sedikit mas
kawin”(HR.Bukhari, Syafi’i dan Ahmad).
Dapat dilihatbahwa hadits ini menunjukan
pembolehan nikah mut’ah(kawin kontrak)untuk sementara waktu. Hal itu ditunjukan
pada ucapan Ibnu Mas’ud “kemudian beliau memberikan dispensasi kepada kami
untuk menikahi wanita sampai beberapa waktu dengan memberi sedikit mas
kawin”.Ini adalah bagian hukum yang pertama.
Kemudian dalam hadits yang
diriwayatkan dari sahabat Sabroh bahwa Nabi bersabda: “sesungguhnya aku dahulu
telah membolehkan menikahi wanita-wanita dengan cara mut’ah, sekarang(pada
waktu penaklukan kota mekah) sungguh Allah telah mengharamkannya hingga hari
kiamat“(HR.Muslim).ungkapan ini adalah bagian kedua. Pada penggalan yang kedua
ini menunjukan pegharaman dari hukum sebelumnya.Maka penggalan ucapan yang
kedua adalah hadits nasikh, sementara penggalan ucapan yang pertama adalah sebagai
hadits mansukh.
Para ulama, di antaranya imam
Nawawi mengatakan, nikah mut’ah pada mulanya dibolehkan, yaitu ketika permulaan
Islam, hanya saja pembolehan dari Nabi ini disebabkan sebuah sebab yang telah
disebutkan oleh Ibnu Mas’ud dalam hadits di atas dan kejadian tersebut terjadi
ketika mereka sedang bersafar. Padahal
Nabi belum pernah membolehkan hal itu ketika mereka berada di rumah-rumah
mereka. Oleh sebab itu, berulang kali Nabi melarang mereka melakukan hal itu
kemudina pada kondisi yang berbeda-beda beliau juga membolehkannya, sampai
akhirnya beliau mengharamkannya pada akhir hari-harinya ketika pelaksanaan haji
wada’(perpisahan). Pengharaman ini bersifat abadi selamanya, sehingga tidak
lagi ditemukan polemik beda pendapat para ulama kaum muslimin mengenai
hukumnya, kecuali yang di amalkan oleh segelintir orang-orang dari Syi’ah saja.
3. Hukum minum sambil berdiri.
عنابيهريرةقالانالنبيصلىاللهعليهوسلمنهىأنيشربالرجلقائما
” dari Abu Hurairah beliau berkata:
sesungguhnya Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang seseorang yang
minum sambil berdiri”(HRBukhari dan Abu Daud)
Sekilas dari hadits yang mulia ini
jelas melarang umat Islam minum dalam keadaan berdiri, imam Ibnu Syahin dalam
bukunya“nasikh al-hadits wa mansukhuhu” ketika berbicara tentang hukum minum
berdiri. Di mana beliau ketika menyebutkan hadits di atas beliau lalu
menyebutkan hadits berikut ini seakan sebagai hadits nasikh. Hadits tersebut
adalah:
عنابنعباسانالنبيشربمنزمزموهوقائم
” dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata:
sesungguhnya Nabi minum air zam-zam dalam keadaan berdiri”(HR.
Setelah dipelajari,hadits pertama di
atas ternyatamansukh sebagaimana yang disebutkan oleh imam Ibnu Syahin, beliau
berkata:” hadits(pembolehan) ini diancam terhapus, karena telah shahih dari
Nabi bahwa beliau melarang minum dalam keadaan berdiri. Juga di dalam hadits
lain, beliau melihat seseorang minum berdiri, maka beliau bertanya padanya,
apakah kamu mau jika minum bersama kucing? Ia berkata, tidak. Beliau lalu
bersabda:” sungguh telah ada orang yang
lebih buruk dari kucing minum bersama kamu,(yaitu) syaitan”. Padahal telah
shahih dari Nabi bahwa beliau dan juga sahabat beliau pernah minum berdiri, dan
pembolehan minum berdiri lebih dekat kepada kebenaran daripada pelarangan. Karena
pelarangan tersebut jika benar-benar kuat atau yang terakhir dari dua hukum
ini, maka sahabat-sahabat Nabi tentu tidak akan minum dalam keadaan berdiri dan
jika minum Nabi dalam keadaan berdiri hanya untuknya, maka tentu tidak akan
dibolehkan bagi sahabat-sahabat beliau minum dalam keadaan berdiri, karena
perbuatan mereka itu masih pada masa Nabi hidup. Oleh sebab itu hadits
pembolehan ini justru lebih pantas sebagai nasikh hadits larangan”.
Jika diteliti kembali, maka sangat
berat untuk mengatakan hadits larangan telah di-mansukh dengan hadits
pembolehan, karena sebenarnya kedua hadits yang terlihat bertentangan ini masih
bisa dikompromikan, mengapa demikian?Karena kita bisa mengambil solusi
komparasi.Yaitu, membawa teks larangan tersebut sebagai penjelasan dari Nabi
bahwa minum dalam keadaan duduk sunnah dan lebih utama atau karena minum dalam
keadaan berdiri akan membahayakan kesehatan maka menghindarinya akan lebih
baik. Kemudian kita membawa hadits minum dalam keadaan berdiri sebagai
penjelasan dari Nabi bahwa hal itu dibolehkan.
4. Batasan minimal hukuman potong tangan
عنابنعمرأنالنبيقطعفيمجنقيمتهثلاثةدراهم
” dari Ibnu Umar beliau berkata:
sesungguhnya Nabi memotong tangan dengan sebab mijan yang nilainya tiga(3)
dirham[10]“(HR.Bukhari dan Muslim)
Menurut imam Ibnu Syahin dalam
bukunya”nasikh al-hadits wa mansukhuhu”, bahwa hadits ini bertentangan dengan
hadits yang teksnya” potong tangan itu pada pencuriansenilai satu dinar atau sepuluh(10) dirham“(HR.Ahmad
dan lainnya). Oleh karena itu menurut asumsi kami, bahwa imam Ibnu
Syahin-walaupun tidak secara tegas mengatakan hadits pertama mansukh-seakan
mengatakan hadits kedua ini sebagai nasikh hadits pertama.
Namun jika diteliti lebih dalam,
justru hadits yang kedua ini adalah hadits mansukh dari hadits yang pertama,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam Nawawi dalam bukunya” al-Minhaj fii
syarh shahih Muslim” ketika berbicara tentang hukuman dan batasan minimal
pencuruan sang pencuru. Dalam penjelasan beliau yang panjang tersebut, akhirnya
beliau memilih pendapat imam Syafi’I dan kebanyakan pendapat para ulama, yang
menyatakan bahwa batas minimal barang curian senilai 1/4 dinar atau tiga(3)
dirham untuk memberlakukan hukuman potong tangan. Walaupun sebenarnya
beliau(imam Nawawi)mengatakan hadits-hadits yang mengatakan batas minimal
senilai sepuluh(10)dirham lemah, namun beliau masih tetap berusaha
mengkompromikan hadits-hadits ini, sehingga beliau sampai kepada suatu
kesimpulan bahwa batas minimal barang curian sepuluh(10)dirham adalah usaha
perpaduan pendapat dan bukan sebagai syarat inti untuk memotong tangan si
pencuri.
a. Kitab Kitab Yang Membahasnya.
Ulama’ yang pertama menghimpun Ilmu Mukhtaliful Hadits adalah Imam
As-Syafi’i Dalam kitabnya Al-UUM, Setelah lahirnya kitab Mukhtaliful Hadits
karangan Imam Asy-Syafi’i maka lahirnya kitab kitab seperti:
1. Ta’wilu Mukhtaliful Hadits Karya Al Al-Hafidh Abdullah bin Muslim bin
Qutaibah Ad-dzainury ( 213 – 276 H )
2. Musykilu’l Atsar Karya Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad At-Thahawy
(239-3321 H), dicetak di india tahun 1333 H
3. Musyikul hadits wa Bayanuhu, Karya Abu bakr Muhammad bin hasan ( Ibnu Furak
) Al-Anshary Al-Asbihany ( wafat tahun 406 H ). Dicetak di India tahun 1362 H
4. Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204H) dengan karya terbesarnya
Ikhtilaf al-Hadis.
5. Abdullah Ibnu Qutaibah al-Dainuri (213-276H) dengan karyanya Ta’wil
Mukhtalif al-Hadis.
6. Imam Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Thahawi (239-321H) karyanya “Musykil
al-Atsar”.
7. Abu Bakar Muhammad Ibn Hasan al-Anshari (w.406H) karyanya Musykil al-“Hadis
wa Bayanuh”.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasar pada pembahasan di atas, maka simpulan yang dapat ditarik adalah
sebagai berikut:
1.
Menurut Yusuf al-Qardawi antara nash yang satu dengan yang lain tidak
mungkin saling bertentangan, demikian halnya antara hadis Nabi dengan hadis
Nabi. Apabila diandaikan terjadi pertentangan, maka yang terjadi hanyalah dalam
lahirnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusinya adalah
al-jam’u (pengkompromian atau penggabungan), jika antara dua hadis yang
bertentangan berkualitas sahih. Sedang apabila da`if atau maudu` maka tidak
masuk dalam bahasan hadis mukhtalif. Apabila al-jam’u tidak bisa, baru memakai
nasikh wa al-mansukh dan tarjih. Meski sebenarnya al-Qardawi kurang setuju atau
menafikannya.
2.
Dalam konstelasi sejarah perjalanan Ilmu Mukhtalif al-Hadis, sebenarnya
metode yang ditawarkan al-Qardawi bukanlah hal baru. Cara al-Jam’u sudah jauh
hari sebelumnya dipakai oleh Ibn Hazm dan ulama lainnya, demikian halnya
tentang nasikh wa al-mansukh, tarjih. Ketidak konsistenan al-Qardawi dengan
menggabungkan atau mengkompromikan antara hadis da’If dengan yang Sahih, bahkan dengan al-Qur`an sebenarnya lebih
didasari pada tuntutan emosional, di mana buku Kayfa Nata’ammal ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyyah lebih diarahkan pada buku karya Muhammad al-Ghozali yang tidak
mentolerir hadis Nabi yang bertentangan dengan al-Qur’an ataupun hadis
dha’if yang bertentangan dengan hadis
sahih dalam kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl
al-Hadits bukan berdasar keinginan untuk
membuat paradigma baru dalam memahami hadis Nabi, khususnya hadis yang
mukhtalif.
Cara penyelesaian nya di bagi menjadi empat
cara,
1. Metode penyelesaian kontradiksi
2. Metode kompromi
3. Metode Tarjih
4. Metode Nasikh Mansukh
DAFTAR PUSTAKA
Fatchurrahman, Ikhtisar
Mustahalul Hadits, Bandung: al-Ma’arif, 1987
Noor Sulaiman, Antologi
Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung persada press
Zuhad, Metode pemahaman
Hadits zmukhtalif & Asbab Al-Wurud, Semarang : Sagha Grafika Solusindo
http://makalah-makalahkuliah.blogspot.com/2010/06/hadist.html
Langganan:
Komentar (Atom)
