Kamis, 14 Juli 2016

MUKHTALIFUL HADITS
“Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah”
“ULUMUL HADITS”










Dosen Pembimbing :
Drs. Nur As’adi M.Pd.I
Disusun Oleh : Kelompok (07)
1.         M. Hendra                             
2.         M. Mulki Sulaiman K           
3.         Emil khoiri                             
4.         Laila Qadar                          

Pendidikan Agama Islam
Semester II (malam)
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
TAHUN 2013-2014


KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT.  yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga Makalah  yang berjudul “Mukhtaliful hadits” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini tiada lain dengan tujuan agar Mahasiawa memahami dan Mengerti maksud dari materi ini dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Al Qur’an yang dibimbing oleh Bapak Drs. Nur As’adi M.Pd.I Dalam penyelesaian makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada:
-          Bapak Drs. Nur As’adi M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Ulumul Hadits  yang telah membibing kami dalam pembuatan makalah ini.
-          Anggota kelompok 7, yang telah bekerja sama dan berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas ini dengan baik.
-          Orang Tua yang selalu memberikan do’a dan dukungan
-          Teman teman sejawat yang membantu terselesaikannya tugas ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun secara pengucapannya, hal ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman.
Akhirnya, tanpa menutup mata terhadap kesalahan atau kekurangan pada makalah  ini, kami dengan penuh kerendahan hati senantiasa mengharap saran dan tegur sapa dari para pembaca yang budiman demi perbaikan pada makalah ini. Demikian, mudah-mudahan amal kita semua diterima disisi Allah . Amin …

Sidoarjo ,…, ………………,  2014                                                                                    


Tim Penyusun







DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I
1.      Latar belakang ……………………………………………………..          
2.      Rumusan Masalah …………………………………………………          
Bab II
1.      Definisi



BAB I
PENDAHULUAN
I.         Latar Belakang
Berbicara tentang ilmu hadits tentulah banyak sekali ilmu yang membahasnya, salah satunya adalah ilmu yang jami bahas yaitu Mukhtaliful Hadits, Ilmu Mukhtaliful hadits adalah Ilmu yang membahas hadits – Hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan itu, atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas kaidah kaidah hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya untuk menghilangkan kesukaranya dan menghilangkan hakikatnya.
Oleh karena itu kami sedikit dan mencoba menerangkan ilmu ini guna untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Dosen, dengan tugas yang diberikan ini kami berusaha untuk mengerti makalah yang telah kami buat ini.
II.                Rumusan Masalah
1.      Apa itu Mukhtaliful hadits ?
2.      Sebab sebab mukhtaliful hadits?
3.      Implikasi dan cara cara penyelesaiannya
4.      Pentingnya Ilmu Mukhtaliful Hadits




















BAB II
PEMBAHASAN

I.          Definisi Mukhtaliful-Hadits
Mukhtalif  artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih.Mukhtaliful-Hadits adalah hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain.
Sedangkan menurut istilah:
العلمالذييبحثفيالأحاديثالتيظاهرهامتعارضفيزيلتعارضها, أويوفقبينها, كمايبحثفىالأحاديثالتييشكلفهمهاأوتصورها, فيدفعأشكالها, ويوضححقيقتها.
“ Ilmu yang membahas hadits – Hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan itu, atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas kaidah kaidah hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya untuk menghilangkan kesukaranya dan menghilangkan hakikatnya”
Dari definisi pengertian hadis mukhtalif sebelumnya, dapat disimpulkan juga bahwa kriteria ilmu mukhtalif hadis adalah : hadis kontradiktif secara lahiriyah, hadis yang kontradiktif tersebut terjadi pada hadis yang shahih dan hasan, dan ada metode penyelesaiannya.
     Sebagian menamai ilmu ini dengan ilmu Musyikul Hadits, ada juga yang menamain dengan ilmu Ta’wilul Hadits dan sebagian yang lain menamainya dengan ilmu Talfiqul hadits.
Sasaran ilmu ini mengarah pada hadits- hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (takyid) kemutlakannya maupun dengan mengkhususkannya (takhsis) keumumannya dan lain sebagainya, atu hadits hadits yang muskil, untuk dita’wilkan hingga hilang kemuskyilannya.
II.       Sebab–Sebab Hadist Mukhtalif

A.     Faktor Internal Hadist (Al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadist tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadist tersebut yang nantinya kedudukan hadist tersebut menjadi Dha’if. Dan secara otomatis hadist tersebut ditolak ketika hadist tersebut berlawanan dengan hadist shohih.
B.      Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan hadistnya.
C.     Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadist tersebut. Ada sebagian dari hadist yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadist, sehingga memunculkn hadist-hadist yang mukhtalif.
D.     Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideology suatu madzhab dalam memahami suatu hadist, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.
III.             Pentingnya Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu Mukhtaliful hadits termasuk salah satu ilmu dari ilmu ilmu hadits yang sangat diperlukan oleh muhadditsin, Fuqaha’ dan lainya, baggi seseorang yang hendak memetik hukum dari dalil dalilnya hendaknya mempunyai pemgetahuan yang mendalam. Pemahamn yang kuat, memhetahui keumuman dan kekhususannya, mengenal akan kemutlakan dan kemuqayyatanya, dalil dalil tersebut. Ia tidak cukup menghafal hadits – hadits, sanad sanadnya, lafald lafaldnya tanpa mengetahui ketentuan ketentuannya tanpa memahaminya dengan sebenar benarnya.

IV.             Implikasi dan cara cara penyelesaiannya
Setiap perbedaan pastilah membawa hikmah. Begitupun dalam hal hadis Nabi Muhammad saw, dengan adanya anggapan bahwa hadis-hadis Nabi saling bertentangan sehingga dikatakan perkataan Nabi tersebut tidak konsisten, maka para ulama hadis termotivasi untuk merumuskan teori-teori yang dapat menyelesaikan anggapan keliru tersebut. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam metode atau teori tersebut antara lain.
1.        Metode Penyelesaian Kontradiksi Hadits
1.1.Metode Ulama’ Safi’iyyah
Ulama’ Safi’I Membuat dan menyusun urutan metode Penyelesaian  Hadits Mukhtalaf sebagai berikut :
A.     Kompromi ( Al-Jam’u ) antara dua teks yang berbeda.
Metode ini yaitu dilakukan dengan cara menggabungkan dan mengkompromikan dua hadis yang tampak saling bertentangan, dan kedua hadis tersebut harus sama-sama shahih. Para ulama berpendapat metode ini lebih baik daripada dengan menggunakan metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis yang tampak bertentangan). Dalam salah satu kaedah fiqh dikatakan bahwa “i’mal al-qaul khairun min ihmalihi (mengamalkan suatu ucapan atau sabda itu lebih baik daripada membiarkannya untuk tidak diamalkan).”
Contoh hadis yang penyelesaiannya dengan metode ini adalah hadis tentang cara wudlu Rasulullah saw. Berikut contoh hadis yang pertama :
حدثنا الربيع, قال : أخبرنا الشافعي, قال : أخبرنا عبد العزيز بن محمد, عن زيد بن أسلم, عن عطاء بن يسار, عن ابن عباس, أن رسول الله ص.م وضأ وجهه ويديه, ومسح برأسه مرة مرة.
Artinya:
Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam al-Syafi’i memberi kabar kepada kami, dia berkata: Abdul Aziz Ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami, dari Zaid Ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw berwudlu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali. (HR.al-Syafi’i).
Sedangkan dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw berwudlu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali. Seperti hadis berikut :
اخبرنا الشافعي, قال : أخبرنا سفيان بن عيينة, عن هشام بن عروة, عن ابيه, عن حمران مولى عثمان بن عفان, ان النبي ص.م توضأ ثللاثا ثلاثا.
Kedua hadis tadi secara lahiriyah memang seperti bertentangan, akan tetapi pada hakekatnya tidak. Menurut pendapat Imam Syafi’i, berwudlu dengan membasuh muka, kaki, dan mengusap kepala sudah mencukupi dengan satu kali saja, akan tetapi dengan mengulang sebanyak tiga kali lebih sempurna. Jadi, kedua hadis tersebut dapat diamalkan sesuai dengan konteks. Jika keadaan kita (terutama jumlah air) memang memungkinkan kita untuk mengulangi basuhan anggota wudlu sebanyak tiga kali, maka lebih utama mengulang basuhan sebanyak tiga kali. Kalaupun keadaan sudah terpenuhi, tetapi kita memilih mengulang satu kali, itu sudah mencukupi.
B.     Jika Cara Kompromi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan  cara mencari Informasi tentang munculnya Teks Hadits. Dengan menggunakan cara nasikh mansukh baik keduanya bersifat Qathi atau Ndani, Bersifat Am’ Atau Khusus.
C.     Jika Cara sejarah tidak dapat dilakukan, maka mengunakan cara Tarjih ( Menguatkan salah satunya ) Jika memang tidak memungkinkan menggunakan keduanya.
D.    Jika Cara diatas tidak dapat digunakan maka menggunakan cara Takhyir ( memilih ) antara keduanya.
1.2. Metode Ulama’ Hanafiah
Ulama’ Hanafiah membuat urutan langkah – langkah penyelesaian konradiksi hadits sebagai berikut :
A.    Metode Nasikh Mansukh
B.     Tarjih Jika memang memungkinkan
C.     Kompromi menurut kelakuan yang bisa dilakukan
D.    Saling menggugurkan jika berhalangan untuk bias mengkompromikan.
E.     Dalam persoalan ini kembali kepada dalil yang peringkatnya lebih rendah jika didapatkan.
F.      Dalam hal ini kembali kepada Hukum asal, jika tidak ada dalail yang peringkatnya lebih rendah.
1.3. Metode zibn Hajar al-Asqalani
Ibn Hajar menetapkan urusan penyelesaiannya :
A.    Kompromi
B.     Nasikh Mansukh
C.     Tarjih
D.    Tawaqquf
2.      Metode Kompromi
Menurut Iwadl al-Sayyid mendefinisikan metode kompromi adalah Mempertemukan antara dua hadits yang kontradiksi dengan bersandar kepada dalam dalil yang dapat menolak kontradiksi dalam rangka mengamalkan keduanya.
2.2. Syarat – Syarat Kompromi
1.      Kedua Hadits Harus Shahih
2.      Kontradiksi itu dalam bentuk bertolak belakang.
3.      Kompromi tidak menyebabkan batalnya salah satu Hadits yang kontradiksi.
4.      Harus sesuai dengan Uslub bahasa Arab, dan tujuan Syari’at tanpa ada unsur pemaksaan.
2.3.  Kaidah kaidah Kompromi hadits
1.      Hadits dari nabi dan Berbentuk Umum
2.      Membawa perbedaan hadits itu kepada kebolehan dilakukan perkara itu.
3.      Mengkompromikan antara yang mujmal, mufassar, ‘am, dan Khas.
Contoh
·         Shalat menunggu udara dingin
Al-HAitsami dalam  mujma’ al-zawaid meriwayatkan dari khabbab ibn al-arats, katanya:
ثكوناالى رسول الله صلم شدة الرمضاء فلم يشكنا
“Bahwasannya Khabbab ibn al-arts mengadu kepada Rasulullah karena sangat panasnya matahari, tetapi beliau tidak menerima pengaduanya.
     Maksudnya bahwa mereka mengadu kepada Nabi tentang cuaca yang sangat panas dan tanpak kegerahan yang mereka alami, dan meminta kepada nabi untuk menunggu udara dingin dalam melaksanakan shalat, tetapi beliau tidak memperkenankan mereka mengakhirkan shalat.
     Imam ahmad meriwayatkan dalamAl-Musnad 2/229,311,391,394,485 ; 3/53; Al-Baihaqi dalam al-Sunnah al-Kubra, Abu Nu’aim dalam al- Hilayah, Ibn Hajar dalam al-Muthallib al-‘Aliyah, bahwasannya rasulullah bersabda :
فأبردواباالصلا ة فإن ثدة الح من فيح جهنم
“ Tunggulah udara cdingin untuk shalat, sesungguhnya udara yang sangat panas itu dari hembusan jahannam.
     Dari kedua hadits itu terkesan ada perbedaan dan kontradiksi, tetapi ibn Qutaibah berkata bahwa pada kedua hadits tidak terdapat kontradiksi, karena awal waktu shalat adalah Perolehan keridlaan allah sementara akhir waktu shalat adalah pemaafan tuhan.


3.      Metode Tarjih
Tarjih dari segi bahasa adalah Memiringkan atau memenangkan, sedangkan dari segi istilah adalah Menyertakan dalil yang dengan adanya dalil itu suatu dalil yang mendapat dukungan dalil lain ) menjadi lebih kuat atas dalil yang berlaawanan dalam memberikan faedah dhan ( ilmu yang mantap ).
·         Macam – macam tarjih
1.      Tarjih berdasarkan sanadnya
Hadits yang memiliki sifat dibawah ini dianggap lebih kuat dari pada yang tidak.
a.       Banyak perowi dan jalur periwayatannya
b.      Sanad Aliy
c.       Sanad terdiri dari ulama’ hijaz
d.      Pengenalan terhadap Rijal Sanad hadits
e.       Sanad menunjukkan kebersambungan transmisi hadits
f.       Kemarfu’an Sanad
g.      Kebersambungan sanad
2.      Tarjih berdasarkan cara-cara tahammul ( Penerimaan dan penerimaan hadits )
Para Ulama’ hadits menjadikan cra ini agar bias dikenali hal-Ikhwal para perawi dan menyampaikan kembali haditsny, dan adanya perbedaan tingkatan derajat tahammul hadits.
·         Cara periwayatan hadits
a.       Penerimaan setelah baligh
b.      Mendengar hadits langsung dari guru
3.      Tarjih berdasarkan Hal Ihwal Perawi dan sifat sifatnya
a.       Kedalaman pengetahuan perawi
b.      Pengetahuan periwayat tentang Bahasa arab dan kaidahnya
c.       Salah satu periwayat lebih banyak hadir dalam majlis majlis rasulullah dibandingkan lainya.
d.      Salah satu periwayat lebih banyak kebersamaan dan persahabatan dengan gurunya
e.       Keadilan rawin ditetapkan berdasarkan pengenalan langsung dan VerifikasiPeriwayat yang disepakatin keadilannya didahulukan atas periwayat yang diperselisihkan keadilannya.
f.       Periwayat yang din ilia adil oleh banyak kritikus
g.      Periwayat yang “ahfadh” 
h.      Tidak mengalami kekacauan hafalan
i.        Periwayat yang lulus aqidahnya
j.        Periwayat yang selalu merowayatkan berdasarkan lafal
k.      Salah satu hadits disepakati kebersambungan sanadnya.
4.      Tarjih berdasarkan matan hadits
a.       DAlam redaksi hadits itu tidak terdapat iththirab ( kekacauan redaksi )
b.      Salah satu matan redaksi susunan bahasanya lebih baik dan lebih banyak mencakup persoalan.
c.       Salah satu matan / redaksi hadits berbentuk redaksi hadits
d.      Didahulukan riwayat yang bersifat umum dari pada yang ditakhsis
e.       Disertai penafsiran tentang adanya tambahan pengetahuan tentang hadits itu
f.       Salah satu hadits menyatakan secara tegas tentang dalalahnya
g.      Salah satu hati dating dan menunjuk kepada matan hakiki
h.      Salah satu hadits dating secara mutlak
i.        Matan hadits diriwayatkan secara lafdhi
5.      Tarjih berdasarkan Faktor Eksternal
a.       Persesuaian hadits dengan makna lahiriah alqur’an
b.      Terdapat hadits lain sesuai dengan salah satu hadits yang kontradiksi
c.       Persesuaian hadits dengan qiyas
d.      Persesuaian hadits dengan penduduk madinah

Contoh
1.      Perawi salah satu dari dua hadits yang bertentangan jumlahnya lebih banyak dalam tingkatan-tingkatannya dibandingkan hadits yang lain. Maka, hadits yang dibawakan perawi yang lebih banyak lebih kuat dibandingkan hadits yang dibawakan perawi yang lebih sedikit jumlahnya.
Contoh :
حدثناحفصبنعمرثناشعبةعنأبيإسحاقعنعاصمبنضمرةعنعليعليهالسلامأنالنبيصلىاللهعليهوسلمكانيصليقبلالعصرركعتين
”Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ’Umar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam shalat (sunnah) sebelum ’asar sebanyak dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1272].
Syu’bah dalam sanad hadits ini telah menyelisihi beberapa perawi lain yang meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabi’y), dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu tentang shalat sunnah sebelum ‘Asar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; dimana mereka semua menyebutkan empat raka’at [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 650, Ibnu Majah no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429; shahih]. Para perawi tersebut antara lain : Sufyan Ats-Tsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq), dan Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq).
Jika kita mengambil metode tarjih dalam pembahasan ini, kedudukan shalat sunnah sebelum ‘Asar empat raka’at lebih kuat dibandingkan dua raka’at.
2.      Perawi salah satu dari dua hadits lebih tsiqah, lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.
Contoh :
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (3/529), At-Tirmidzi (no. 1165), An-Nasa’i dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 115), Ibnul-Jaarud (3/52 – Al-Ghauts), Ibnu Hibbaan (Al-Ihsaan : 6/202) dari jalan Abu Khaalid Al-Ahmar (Sulaiman bin Hayyaan Al-Azdiy), dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsmaan, dari Makhramah bin Sulaiman, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’ :
لاينظراللهإلىرجلأتىرجلًاأوامرأةًفيدبرها
“Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi (menggauli) laki-laki atau wanita (istrinya) dari duburnya”.
Abu Khaalid Al-Ahmar telah diselisihi oleh Wakii’ bin Al-Jarraah dalam hadits di atas. Waki’ bin Al-Jarraah telah meriwayatkan dari Adl-Dlahhaak bin ‘Utsman, dari Makhramah, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbas secara mauquf [Diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam ‘Isyratun-Nisaa’ (no. 116)]. Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhiishul-Habiir (3/206) : “Riwayat ini lebih shahih di sisi mereka daripada riwayat yang marfu’”.
Apa yang dikatakan oleh Al-Haafidh adalah benar, karena Waki’ lebih hifdh dan tsabt daripada Abu Khaalid Al-Ahmar. Hal itu dikarenakan Abu Khaalid adalah perawi yang berstatus shaduq, kadang salah dan berselisihan riwayatnya; sedangkan Waki’ adalah perawi yang berstatus tsiqatun haafidh.
Tarjih yang dilakukan atas dua riwayat di atas menyimpulkan bahwa riwayat Waki’ yang mauquf dimenangkan atas riwayat Abu Khaalid yang marfu’. Atau dengan kata lain, riwayat di atas bukanlah merupakan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, melainkan hanya perkataan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma saja.
3.      Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mempunyai kisah (shahibul-qishshah). Maka, riwayat perawi ini lebih kuat daripada yang lainnya.
Contoh :
عنميمونةقالت : تزوجنيرسولاللّهصلىاللّهعليهوسلمونحنحلالان
Dari Maimunah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami berdua dalam keadaan halal (setelah selesai ihram)” [HR. Abu Dawud no. 1843; shahih].
Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
أَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَتَزَوَّجَمَيْمُوْنَةَوَهُوَمُحْرِمٌ
”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram” [HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410].
Jika kita melakukan tarjih atas dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunah radliyallaahu ‘anhaa dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma. Hal ini dikarenakan ia berstatus sebagai si empunya kisah yang menceritakan pengalamannya.
Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata :
وهمبنعباسفيتزويجميمونةوهومحرم
“Ibnu ’Abbas telah keliru dalam (meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan ihram” [HR. Abu Dawud no. 1845; shahih].
4.      Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mengetahui secara langsung apa yang diriwayatkannya, sedangkan perawi yang lain tidak. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.
Contoh :
عنأبيرافعقال :   تزوجرسولاللهصلىاللهعليهوسلمميمونةوهوحلالوبنىبهاوهوحلالوكنتأناالرسولبينهما
Dari Abu Raafi’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara keduanya” [HR. At-Tirmidzi no. 841].
Jika hadits ini shahih [1], maka riwayat Abu Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3 di atas), karena Abu Raafi’  merupakan perantara (safiir) antara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Maimunah, dan yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
5.      Perawi salah satu dari dua hadits termasuk istri-istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan/hubungan suami istri.
Contoh :
عنعائشةوأمسلمة - رضياللهعنهما- : أنرسولاللهصلىاللهعليهوسلمكانيدركهالفجروهوجنبمنأهلهثميغتسلويصوم
Dari Aisyah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya.  Kemudian beliau mandi dan berpuasa”  [HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109].
أنأباهريرةيقولمنأصبحجنباأفطرذلكاليوم
Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata : “Barangsiapa yang pada waktu shubuh dalam keadaan junub, maka ia telah berbuka pada hari itu” [HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no. 3486, dan yang lainnya; shahih].
Hadits pertama lebih dimenangkan atas hadits kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal junub Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dibanding dengan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
4.      Metode Nasikh-Mansukh
a.      Nasikh
            Secara etimologi nasikh di ambil dari kata naskh yang memiliki dua arti, pertama; menghilangkan. Kedua; memindahkan. Berarti nasikh adalah yang menghilangkan atau yang memindahkan. Namun arti menghilangkan atau menghapus lebih bisa digunakan dalam kaitannya dengan arti terminology.  
            Adapun secara terminologi nasikh memiliki banyak tafsiran, di antara ulama ada yang mendefinisikan ia adalah penjelasan berakhirnya masa berlaku sebuah ibadah. Menurut ulama yang lain ia adalah proses menghilangkan sebuah hukum setelah ditetapkan. Namun banyak dari ulama kontenporer yang ketika mendefenisikannya menitik beratkan pada definisi yang diutarakan oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan:  
أَنَّهُالْخِطَابُالدَّالُّعَلَىارْتِفَاعِالْحُكْمِالثَّابِتِبِالْخِطَابِالْمُتَقَدِّمِعَلَىوَجْهٍلَوْلَاهُلَكَانَثَابِتًابِهِمَعَتَرَاخِيهِعَنْهُ.
“ ia adalah hukum yang menunjukan terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum yang baru berdasarkan sebab yang jika bukan karenanya maka pasti hukum(pertama) itu tetap, juga karena keberadaan (hukum baru itu) terakhir”[1].
            Mungkin untuk definisi nasikh yang lebih luas dan mudah dipahami adalah definisi versi imam Qaadhi, saya yakin definisi ini lebih tepat untuk diambil dalam pembahasan ini.
b.      Mansukh
            Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa nasikh adalah hukum penghapus atau hukum yang menggantikan hukum terdahulu.Berarti istilah mansukh itu sendiri adalah hukum yang dihapus karena adanya hukum baru.
            Jadi menginai konsep nasikh mansuk ringkasnya kami katakan sebagai penghapus dan dihapus; yaitu hukum baru menghapus hokum yang lama, seperti yang dikatakan dan dianut oleh imam Suyuthi serta dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadhi di atas. Adapun imam Suyuti sebagaimana yang beliau pilihkan dalam bukunya Tadriib al-Raawi beliau katakan:
“ penghapusan Allah terhadap suatu hukum lama dengan hukum yang baru” [2].
            Berdasarkan penjelasan di atas dapat disarikan bahwa ilmu nasikh mansukh adalah: cabang ilmu hadits yang membahas hadits-hadits yang tampak saling bertabrakan maknanya, yang tidak mungkin dapat diharmoniskan antara satu dengan yang lainnya. Maka otomatis peneliti harus menentukan salah satu hadits sebagai nasikh(penghapus) dan hadits yang lain sebagai mansukh(yang dihapus), tentunya yang pertama adalah hadits mansukh, sedangkan yang datang belakangan sebagai nasikh.
            Jadi sederhananya, nasikh adalah yang menghapus hukum lama karena adanya hukum baru, kemudian oleh Allah hukum baru tersebut ditetapkan hingga hari kiamat alias bersifat abadi dan bukan temporal.
c.       Apakah nasikh mansukh teks atau interpretasi?
Sejauh pembelajaran kami tentang ilmu hadits, nasikh mansukh adalah interpretasi bukan teks.  Karena terkadang ditemukan dua hadits yang lafaz atau teksnya berbeda namun tidak terindikasi sebagai nasikh mansukh namun hanya dianggap dialektika atau fariasi semata. Sebagai contohnya hadits-hadits tentang dzikir dan doa iftitah dalam shalat. Atau hadits-hadits yang berkaitan dengan jumlah basuhan ke anggota-anggota wudhu ketika berwudhu, yang terkadang Nabi melakukannya satu kali basuh, terkadang dua kali dan terkadang tiga kali basuh. dan hadits-hadits yang semisalnya sangatlah banyak.
            Oleh karena itu, jika terdapat dua hadits atau lebih yang interpretasinya berbeda dan saling tabrakan walaupun terkadang susunan kalimatnya sama namun tidak bisa dikompromikan maka ia adalah hadits nasikh mansukh, dan model hadits-hadits semacam ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang pertama.
d.      Kapan nasikh mansukh dipakai sebagai solusi hadits mukhtalif?
Ketika terdapat dua hadits atau lebih yang bertabrakan interpretasinya maka hadits tersebut dapat disebut sebagai hadits mukhtalif, sementarahadits mukhtalif  tersebut menurut para ulama terbagi menjadi dua bagian inti;
Pertama: hadits mukhtalif yang masih bisa diharmoniskan, tanpa menempuh jalur naskh. Dan kedua-duanya harus diamalkan.
Kedua: hadits mukhtalif yang tidak bisa diharmoniskan. Maka solusi dari hadits-hadits yang bertentangan tersebut diberlakukan jalur nasikh mansukh. Karena salah satu dari keduanya pasti ada yang benar dan lainya salah. Maka dengan solusi naskh salah satu hadits dapat diamalkan dan yang lainnya harus diabaikan.    
2.      Obyek pembahasan
Objek kajian dalam nasikh wa mansukh adalah matan hadits, Spesifiknya adalah pada hadits-hadits yang kami anggap tergolong dalam nasikh dan mansukh, kami akan mengangkat empat hadits untuk mengklarifikasikan sebagai hadits-hadits nasikh mansukh.
 3.      Urgensi Pembahasan
Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang sangat prinsip bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. sebab dengan mempelajarinya menghilangkan semua kerancuan memahami teks sebuah hadits dan dapat mengetahui sejauh mana masa berlaku sebuah hadits dalam pengamalannya di dunia Islam. Tentang penting dan sulitnya ilmu ini maka Imam az-Zuhri penah berkata:
أَعْيَاالْفُقَهَاءَوَأَعْجَزَهُمْأَنْيَعْرِفُوانَاسِخَحَدِيثِرَسُولِاللَّهِ – صَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ – وَمَنْسُوخَهُ
“ parafuqaha telah mengalami kesulitan dan letih untuk mengetahui hadits yang menasikh dan hadits mansukh”[3].
            Beranjak dari perkataan imam az-Zuhri ini, ternyata hadits nasikh dan hadits mansukh ini memang sedikit membebani para penuntut ilmu[4], bahkan para ulama fikih pun mengalami kesulitan untuk mengidentifikasinya.Jika imam yang mulia seperti beliau saja berkomentar seperti itu apalagi kita, tentu saja kita harus lebih banyak dan terus memperdalam ilmu semacam ini untuk mengetahui keabsahan serta sejauh mana masa berlaku sebuah hadits Nabi.
            Itulah perjuangan salah satu ulama terdahulu-mewakili yang lain- untuk menyampaikan sunnah Nabi kepada umat ini dengan kemampuan yang mereka miliki. Kemampuan besar yang mereka miliki itu pun masih belum bisa tersampaikan kepada kita, mungkin karena ketajaman pemahaman yang kita miliki masih terbatas. Sebenarnya penjelasan ulama terdahulu yang singkat dan padat itu justru memacu kita untuk bisa berinovasi sendiri dalam memahami dan menerapkan hadits, karena mereka telah membuka jalan kepada kita untuk memahami dan menerapkan hadits, seperti yang telah di lakukan oleh imam syafi’i.
            Kalau diteliti, ilmu ini sebenarnya adalah pelengkap pintu ber-ijtihad, karena tiang besar dari ijtihad itu sendiri adalah menguasai nukilan hadits, di antara manfaat dari nukilan adalah mengenal nasikh dan mansukh.Maka apabila seseorang telah mempelajari ilmu ini ia akan dengan mudah meyimpulkan suatu hukum dari sebuah teks hadits tanpa melihat penjelasan para ulama sebelumnya.
            Oleh karena itu, sangatlah penting bagi seorang muslim khususnya peneliti untuk memahami ilmu ini di dalam dunia Islam.
b. Analisa Metode
            Sebagian ahli hadits menggunakan naskh apabila mereka kesulitan dalam menggabungkan dua hadits yang bertabrakan dan tidak dapat diharmoniskan, serta di antara keduannya diketehui mana hadits yang muncul belakangan.
1.      Lantas apa saja metode yang dipakai untuk mengetahui hadits nasikh mansukh?
            Selain mengetahui antara kedua hadits mana yang muncul pertama dan mana yang muncul terakhir sebagai metode mengetahui nasikh mansukh terdapat metode lain untuk mengetahui hadits nasikh mansukh seperti:
1.      Menelusuri Pernyataan terang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur.Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
 2.      Mengetahui Perkataan dan penjelasan Sahabat.
Sebagai contohnya biasanya mereka mengatakan: “bahwa akhir dari dua perkara yang dilakukan oleh Nabi adalah tidak berwudhu(lagi)dari memakan daging (bakar) yang tersentuh api”(HR. Abu Daud dan Nasai)
Pada metode ini Para ulama Ushul melazimkan sebuah syarat, yaitu adanya keterangan dari mereka(sahabat) akan adanya hadits lain yang datang terakhir untuk menghapus hadits pertama. Berbeda dengan ulama ahli hadits, mereka mengabaikan syarat ini karena menurut mereka tidak ada peluang berijtihad atau berlogika. Sebab ilmu naskh ini hanya dapat dicapai dengan mengetahui fakta sejarah, dan tentu para sahabat lebih hebat dalam sejarah Nabi karena mereka yang langsung melihatnya. Serta mereka lebih berhati-hati menjust hokum sebagai naskh tanpa harus mengetahui akhir sebuah hadits untuk menjadi nasikh[5]. 
3.      Mengetahui sejarah, seperti hadits Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wada’ tahun 10 hijriyah.
4.      Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan adanya nasikh[6].
            Sebenarnya, problematika naskh dalam hadits tidak serumit dalam al-Qur’an. Namun, sebenarnya tidak juga demikian. Malah sebaliknya, karena pada prinsipnya, al-Qur’an bersifat umum dan universal. Adapun sunnah banyak menangani persoalan-persoalan “partikular dan temporer”, yang dalam hal ini Nabi berposisi sebagai pemimpin umat yang mengatur urusan kehidupan sehari-hari.
Namun, banyak hadits yang diamsumsikan sebagai mansukh, tetapi setelah diteliti ternyata tidak demikian. Hadits-hadits tersebut ada yang mengandung ketetapan(‘azimah). Ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan(rukhshah). Keduanya mempunyai hukum tersendiri sesuai dengan kedudukan masing-masing. hadits terkait oleh kondisi tertentu.
Oleh karena itu, perbedaan situasi tidak berarti adanya naskh. Sebagai contoh, hadits tentang larangan menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari yang kemudian dibolehkan. Atau hadits tentang perintah berbuka puasa ketika berperang melawan musuh, dan jika kita berpuasa setelah berperang pun tidak dikatakan sebagai nasikh terhadap hadits perintah berbuka. kedua hadits ini tidak termasuk kategori naskh tetapi hanya menyangkut larangan dalam situasi tertentu dan kebolehkan dalam situasi yang lain atau sebaliknya.
2.      Lantas Bagaimana Proses Memahami Nasikh Mansukh?
            Tentang hal ini Imam Syafi’I telah mengisyaratkannya, beliau menyatakan:” apabila ada dua hadits yang keduanya berkemungkinan diamalkan secara bersamaan, keduannya harus diamalkan, dan salah satunya tidak dapat membatalkan yang lainnya. Namun, jika keduanya bertentangan, maka ada dua opsi untuk penyelesainnya.
            Pertama: apabila diketehui salah satunya nasikh(menghapus) dan yang lainnya mansukh(dihapus), hadits yang nasikh yang diamalkan dan yang mansukh ditinggalkan[7].
            Kedua: apabila tidak diketahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh, kita tidak boleh mengamalkan salah satunya dan meninggalkan yang lainnya, kecuali dengan alasan bahwa hadits yang diamalkan itu lebih kuat(sanadnya) atau lebih dekat dengan maksud al-Qur’an dan hadits Nabi atau lebih layak untuk dilakukan analogi(qiyas) padanya, dan menjadi pegangan mayoritas ulama atau para sahabat Nabi”[8].
Itulah metode para ulama dalam menganalisa hadits-hadits Nabi yang terlihat bertentangan satu dengan yang lainnya. Sebelum melanjutkan studi ini, kita perlu mengetahui metode apa yang akan kami gunakan dalam membahas ilmu nasikh dan mansukh. Dalam pembahasan ini saya akan berusaha memilih dan mengidentifikasi hadits sebagai hadits nasikh mansukh disertai penjelasannya dari empat contoh hadits yang kami anggap sebagai nasikh dan mansukh. Jadi menurut kami metode pendekatannya adalah metode penelitian deduktif dengan metode yang dipakai oleh para ulama di atas .
            Perlu saya tekankan bahwa hadits nasikh dan mansukh itu sendiri terkadang termuat dalam sanad dan teks yang berbeda alias terpisah antara hadits nasikh dengan mansukhnya dan terkadang hadits nasikh dan mansukh ini termuat kompleks dalam satu sanad dan teks yang sama.
e.          Analisa aplikasi empat hadits
            Hadits-hadits yang akan kami angkat sebagai hadits nasikhmansukh yang juga dianggap oleh para ulama sebagai nasikh danmansukhpada kesempatan kali ini adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Ziarah Kubur
عنابنعباسقاللعنرسـولاللهزواراتالقـبوروالمـتخذينعلـيهاالمساجدوالسرج
” dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: Rasulullah- shallalhu ‘Alaihi Wa Sallam-bersabda Allah telah mengutuk para peziarah kubur dan orang-orang yang membangun masjid-masjid di atasnya serta menaruh lampu padanya”(HR.Tirmidzi).
            Sebagian para ulama ketika mengomentari hadits ini mereka mengatakan hadits ini telah mansukh dengan hadits yang lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Ibnu Syahin dalam bukunya“nasikh al-hadits wa mansukhuhu” ketika menyebutkan hadits ini. hadits yang me-Nasikh-nya adalah hadits berikut:
عنابنبريدةعنابيهقالقالرسولالله: كنتنهيتكمعنزيارةالقبورفزوروها،فإنفيزيارتهاتذكرة
” dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya beliau berkata, Rasulullah bersabda:” dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, tapi sekarang berziarahlah, karena menziarahinya mengingatkan(pada kematian)”(HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).
            Imam Ibnu Syahin berkata:” hadits yang pertama derajatnya shahih dan hadits yang kedua ini juga shahih, hanya saja hadits yang kedua sebagai nasikh hadits pertama”[9].
2.      Hadits hukum nikah mut’ah
قَالَابْنَمَسْعُودٍ: كُنَّانَغْزُومَعَرَسُولِاللَّهِ – صَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ – وَلَيْسَمَعَنَانِسَاءٌ،فَأَرَدْنَاأَنْنَخْتَصِيَ،فَنَهَانَاعَنْذَلِكَرَسُولُاللَّهِ – صَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ – ثُمَّرَخَّصَلَنَاأَنْنَنْكِحَالْمَرْأَةَإِلَىأَجَلٍبِالشَّيْءِ
“ Ibnu Mas’ud berkata: dahulu kami bersama Rasulullah-shallalhu ‘Alaihi Wa Sallam- dalam peperangan sementara tidak ada istri-istri yang bersama kami, maka kami ingin berkebiri, namun Nabi melarang kami dari perbuatan itu, kemudian beliau memberikan dispensasi kepada kami untuk menikahi wanita sampai beberapa waktu dengan memberi sedikit mas kawin”(HR.Bukhari, Syafi’i dan Ahmad).
            Dapat dilihatbahwa hadits ini menunjukan pembolehan nikah mut’ah(kawin kontrak)untuk sementara waktu. Hal itu ditunjukan pada ucapan Ibnu Mas’ud “kemudian beliau memberikan dispensasi kepada kami untuk menikahi wanita sampai beberapa waktu dengan memberi sedikit mas kawin”.Ini adalah bagian hukum yang pertama.
Kemudian dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Sabroh bahwa Nabi bersabda: “sesungguhnya aku dahulu telah membolehkan menikahi wanita-wanita dengan cara mut’ah, sekarang(pada waktu penaklukan kota mekah) sungguh Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat“(HR.Muslim).ungkapan ini adalah bagian kedua. Pada penggalan yang kedua ini menunjukan pegharaman dari hukum sebelumnya.Maka penggalan ucapan yang kedua adalah hadits nasikh, sementara penggalan ucapan yang pertama adalah sebagai hadits mansukh.
            Para ulama, di antaranya imam Nawawi mengatakan, nikah mut’ah pada mulanya dibolehkan, yaitu ketika permulaan Islam, hanya saja pembolehan dari Nabi ini disebabkan sebuah sebab yang telah disebutkan oleh Ibnu Mas’ud dalam hadits di atas dan kejadian tersebut terjadi ketika mereka sedang bersafar.  Padahal Nabi belum pernah membolehkan hal itu ketika mereka berada di rumah-rumah mereka. Oleh sebab itu, berulang kali Nabi melarang mereka melakukan hal itu kemudina pada kondisi yang berbeda-beda beliau juga membolehkannya, sampai akhirnya beliau mengharamkannya pada akhir hari-harinya ketika pelaksanaan haji wada’(perpisahan). Pengharaman ini bersifat abadi selamanya, sehingga tidak lagi ditemukan polemik beda pendapat para ulama kaum muslimin mengenai hukumnya, kecuali yang di amalkan oleh segelintir orang-orang dari Syi’ah saja.
3.      Hukum minum sambil berdiri.
عنابيهريرةقالانالنبيصلىاللهعليهوسلمنهىأنيشربالرجلقائما
” dari Abu Hurairah beliau berkata: sesungguhnya Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang seseorang yang minum sambil berdiri”(HRBukhari dan Abu Daud)
            Sekilas dari hadits yang mulia ini jelas melarang umat Islam minum dalam keadaan berdiri, imam Ibnu Syahin dalam bukunya“nasikh al-hadits wa mansukhuhu” ketika berbicara tentang hukum minum berdiri. Di mana beliau ketika menyebutkan hadits di atas beliau lalu menyebutkan hadits berikut ini seakan sebagai hadits nasikh. Hadits tersebut adalah:
عنابنعباسانالنبيشربمنزمزموهوقائم
” dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata: sesungguhnya Nabi minum air zam-zam dalam keadaan berdiri”(HR.
Setelah dipelajari,hadits pertama di atas ternyatamansukh sebagaimana yang disebutkan oleh imam Ibnu Syahin, beliau berkata:” hadits(pembolehan) ini diancam terhapus, karena telah shahih dari Nabi bahwa beliau melarang minum dalam keadaan berdiri. Juga di dalam hadits lain, beliau melihat seseorang minum berdiri, maka beliau bertanya padanya, apakah kamu mau jika minum bersama kucing? Ia berkata, tidak. Beliau lalu bersabda:” sungguh telah ada orang  yang lebih buruk dari kucing minum bersama kamu,(yaitu) syaitan”. Padahal telah shahih dari Nabi bahwa beliau dan juga sahabat beliau pernah minum berdiri, dan pembolehan minum berdiri lebih dekat kepada kebenaran daripada pelarangan. Karena pelarangan tersebut jika benar-benar kuat atau yang terakhir dari dua hukum ini, maka sahabat-sahabat Nabi tentu tidak akan minum dalam keadaan berdiri dan jika minum Nabi dalam keadaan berdiri hanya untuknya, maka tentu tidak akan dibolehkan bagi sahabat-sahabat beliau minum dalam keadaan berdiri, karena perbuatan mereka itu masih pada masa Nabi hidup. Oleh sebab itu hadits pembolehan ini justru lebih pantas sebagai nasikh hadits larangan”.
Jika diteliti kembali, maka sangat berat untuk mengatakan hadits larangan telah di-mansukh dengan hadits pembolehan, karena sebenarnya kedua hadits yang terlihat bertentangan ini masih bisa dikompromikan, mengapa demikian?Karena kita bisa mengambil solusi komparasi.Yaitu, membawa teks larangan tersebut sebagai penjelasan dari Nabi bahwa minum dalam keadaan duduk sunnah dan lebih utama atau karena minum dalam keadaan berdiri akan membahayakan kesehatan maka menghindarinya akan lebih baik. Kemudian kita membawa hadits minum dalam keadaan berdiri sebagai penjelasan dari Nabi bahwa hal itu dibolehkan.
4.      Batasan minimal hukuman potong tangan
عنابنعمرأنالنبيقطعفيمجنقيمتهثلاثةدراهم
” dari Ibnu Umar beliau berkata: sesungguhnya Nabi memotong tangan dengan sebab mijan yang nilainya tiga(3) dirham[10]“(HR.Bukhari dan Muslim)
            Menurut imam Ibnu Syahin dalam bukunya”nasikh al-hadits wa mansukhuhu”, bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits yang teksnya” potong tangan itu pada pencuriansenilai  satu dinar atau sepuluh(10) dirham“(HR.Ahmad dan lainnya). Oleh karena itu menurut asumsi kami, bahwa imam Ibnu Syahin-walaupun tidak secara tegas mengatakan hadits pertama mansukh-seakan mengatakan hadits kedua ini sebagai nasikh hadits pertama.
            Namun jika diteliti lebih dalam, justru hadits yang kedua ini adalah hadits mansukh dari hadits yang pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam Nawawi dalam bukunya” al-Minhaj fii syarh shahih Muslim” ketika berbicara tentang hukuman dan batasan minimal pencuruan sang pencuru. Dalam penjelasan beliau yang panjang tersebut, akhirnya beliau memilih pendapat imam Syafi’I dan kebanyakan pendapat para ulama, yang menyatakan bahwa batas minimal barang curian senilai 1/4 dinar atau tiga(3) dirham untuk memberlakukan hukuman potong tangan. Walaupun sebenarnya beliau(imam Nawawi)mengatakan hadits-hadits yang mengatakan batas minimal senilai sepuluh(10)dirham lemah, namun beliau masih tetap berusaha mengkompromikan hadits-hadits ini, sehingga beliau sampai kepada suatu kesimpulan bahwa batas minimal barang curian sepuluh(10)dirham adalah usaha perpaduan pendapat dan bukan sebagai syarat inti untuk memotong tangan si pencuri.
a.      Kitab Kitab Yang Membahasnya.
Ulama’ yang pertama menghimpun Ilmu Mukhtaliful Hadits adalah Imam As-Syafi’i Dalam kitabnya Al-UUM, Setelah lahirnya kitab Mukhtaliful Hadits karangan Imam Asy-Syafi’i maka lahirnya kitab kitab seperti:
1.      Ta’wilu Mukhtaliful Hadits Karya Al Al-Hafidh Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-dzainury ( 213 – 276 H )
2.      Musykilu’l Atsar Karya Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad At-Thahawy (239-3321 H), dicetak di india tahun 1333 H
3.      Musyikul hadits wa Bayanuhu, Karya Abu bakr Muhammad bin hasan ( Ibnu Furak ) Al-Anshary Al-Asbihany ( wafat tahun 406 H ). Dicetak di India tahun 1362 H
4.      Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204H) dengan karya terbesarnya Ikhtilaf al-Hadis.
5.      Abdullah Ibnu Qutaibah al-Dainuri (213-276H) dengan karyanya Ta’wil Mukhtalif al-Hadis.
6.      Imam Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Thahawi (239-321H) karyanya “Musykil al-Atsar”.
7.      Abu Bakar Muhammad Ibn Hasan al-Anshari (w.406H) karyanya Musykil al-“Hadis wa Bayanuh”.

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
    Berdasar pada pembahasan di atas, maka simpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1.    Menurut Yusuf al-Qardawi antara nash yang satu dengan yang lain tidak mungkin saling bertentangan, demikian halnya antara hadis Nabi dengan hadis Nabi. Apabila diandaikan terjadi pertentangan, maka yang terjadi hanyalah dalam lahirnya saja, bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusinya adalah al-jam’u (pengkompromian atau penggabungan), jika antara dua hadis yang bertentangan berkualitas sahih. Sedang apabila da`if atau maudu` maka tidak masuk dalam bahasan hadis mukhtalif. Apabila al-jam’u tidak bisa, baru memakai nasikh wa al-mansukh dan tarjih. Meski sebenarnya al-Qardawi kurang setuju atau menafikannya.
2.    Dalam konstelasi sejarah perjalanan Ilmu Mukhtalif al-Hadis, sebenarnya metode yang ditawarkan al-Qardawi bukanlah hal baru. Cara al-Jam’u sudah jauh hari sebelumnya dipakai oleh Ibn Hazm dan ulama lainnya, demikian halnya tentang nasikh wa al-mansukh, tarjih. Ketidak konsistenan al-Qardawi dengan menggabungkan atau mengkompromikan antara hadis da’If dengan yang Sahih,  bahkan dengan al-Qur`an sebenarnya lebih didasari pada tuntutan emosional, di mana buku Kayfa Nata’ammal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah lebih diarahkan pada buku karya Muhammad al-Ghozali yang tidak mentolerir hadis Nabi yang bertentangan dengan al-Qur’an ataupun hadis dha’if  yang bertentangan dengan hadis sahih dalam kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits  bukan berdasar keinginan untuk membuat paradigma baru dalam memahami hadis Nabi, khususnya hadis yang mukhtalif.
                        Cara penyelesaian nya di bagi menjadi empat cara,
1.      Metode penyelesaian kontradiksi
2.      Metode kompromi
3.      Metode Tarjih
4.      Metode Nasikh Mansukh



DAFTAR PUSTAKA

Fatchurrahman, Ikhtisar Mustahalul Hadits, Bandung: al-Ma’arif, 1987
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung persada press
Zuhad, Metode pemahaman Hadits zmukhtalif & Asbab Al-Wurud, Semarang : Sagha Grafika Solusindo
http://makalah-makalahkuliah.blogspot.com/2010/06/hadist.html